Model Evaluasi Pembelajaran
Dalam studi tentang evaluasi banyak sekali dijumpai model-model evaluasi
dengan format atau sistematika yang berbeda, sekalipun dalam beberapa
model ada juga yang sama. Misalnya saja, Said Hamid Hasan (2009)
mengelompokkan model evaluasi sebagai berikut :
1. Model evaluasi kuantitatif
Evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk
mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma
positivisme. Sehingga model-model evaluasi kuantitatif yang ada
menekankan peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri
berikutnya dari model-model kuantitatif adalah tidak digunakannya
pendekatan proses dalam mengembangkan criteria evaluasi. Adapun diantara
model-model evaluasi kurikulum yang terkategori sebagai model evaluasi
kuantitatif adalah sebagai berikut:
a. Model Black Box Tyler
Model evaluasi Tyler di bangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang
ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan
pada tingkah laku awal peseta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum
serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut.
Berdasar pada dua prinsip ini maka Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi
kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil
belajar. Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah
sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan kurikulum
yang dimaksud disini adalah model tujuan behavioral. Dan model ini di
Indonesia sudah dikembangkan sejak kurikulum 1975. Adapun untuk
kurikulum KTSP saat ini maka harus mengembangkan tujuan behavioral ini
jika berkenaan dengan model kurikulum berbasis kompetensi.
2. Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk
memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan. Dari langkah
ini diharapkan evaluator memberikan perhatian dengan seksama supaya
proses pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil belajar yang
dirancang kurikulum.
3. Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah
laku peserta didik. Alat evaluasi ini dapat berbentuk tes, observasi,
kuisioner, panduan wawancara dan sebagainya. Adapun instrument evaluasi
ini harus teruji validitas dan reliabilitasnya.
Inilah tiga prosedur dalam evaluasi model Tyler.
Adapun kelemahan dari model Tyler ini adalah tidak sejalan dengan
pendidikan karena focus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi
proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar.
Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen
penting dari kurikulum.
Adapun kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator
dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum
yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak
menjadi focus evaluasi.
b. Model Teoritik Taylor dan Maguire
Model evaluasi kurikulum Taylor dan Maguire ini lebih mendasarkan pada
pertimbangan teoritik. Model ini melibatkan variabel dan langkah yang
ada dalam proses pengembangan kurikulum. Dalam melaksanakan evaluasi
kurikulum sesuai model teoritik Taylor dan Maguire meliputi dua hal,
yaitu: pertama, mengumpulkan data objektif yang dihasilkan dari berbagai
sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode,
konten, hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka
panjang. Dikatakan data objektif karena mereka berasal dari luar
pertimbangan evaluator.
Kedua, pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual
terutama mengenai kualitas tujuan, masukan dan hasil belajar. Adapun
cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini adalah sebagai
berikut:
1. Dimulai dari adanya tekanan/keinginan masyarakat terhadap pendidikan.
Tekanan dan tuntutan masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan.
Kemudian tujuan dari masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan yang
ingin dicapai kurikulum. Adapun dalam pengembangan KTSP maka tekanan
dari masyarakat ini dikembangkan pada tingkat Nasional dalam bentuk
Standar Isi dan Standar Kompetensi Kelulusan. Dari dua standar ini maka
satuan pendidikan mengembangkan visi dan tujuan yang hendak dicapai
satuan pendidikan. Kemudian tujuan satuan pendidikan tersebut menjadi
tujuan kurikulum dan tujuan mata pelajaran.
2. Evaluator mencari data mengenai keserasian antara tujuan umum dengan
tujuan behavioral. Maka tugas evaluator disini mencari relevansi antara
tujuan satuan pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran yang berbeda
dalam tingkat-tingkat abstraksinya. Dalam tahap ini evaluator harus
menentukan apakah pengembagan tujuan behavioral tersebut membawa gains
atau losses dibandingkan dengan tujuan umum ditahap pertama.
3. Penafsiran tujuan kurikulum Pada tahap ini tugas evaluator adalah
memberikan pertimbangan mengenai nilai tujuan umum pada tahap pertama.
Adapun dua criteria yang dikemukan oleh Taylor dan Maguaire dalam
memberi pertimbangan adalah: pertama, kesesuaian dengan tugas utama
sekolah. kedua, tingkat pentingnya tujuan kurikulum untuk dijadikan
program sekolah. adapun hasil dari kegiatan ini adalah sejumlah tujuan
behavioral yang sudah tersaring dan akan dijadikan tujuan yang akan
dicapai oleh mata pelajaran yang bersangkutan.
4. Mengevaluasi pengembangan tujuan menjadi pengalaman belajar. Tugas
evaluator disini adalah menentukan hasil dari suatu kegiatan belajar.
Menelaah apakah hasil belajar yang telah diperoleh dapat digunakan dalam
kehidupan dimasyarakat. Karena kurikulum yang baik adalah kurikulum
yang menjadikan hasil belajar yang diperoleh peserta didik dapat
digunakan dalam kehidupannya di masyarakat.
c. Model Pendekatan Sistem Alkin
Adapun model Alkin ini sedikit unik karena selalu memasukkan unsure
pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Adapun pendekatan
yang digunakan disebut Alkin dengan pendekatan Sistem. Dua hal yang
harus diperhatikan oleh evaluator dalam model ini adalah pengukuran dan
control variable. Alkin membagi model ini atas tiga komponen. Yaitu
masukan, proses yang dinamakannya dengan istilah perantara (mediating),
dan keluaran (hasil). Alkin juga mengenal sisitem internal yang
merupakan interaksi antar komponen yang langsung berhubungan dengan
pendidikan dan system eksternal yang mempunyai pengaruh dan dipengaruhi
oleh pendidikan.
Alkin dikembangkan berdasarkan empat asumsi. Apabila keempat asumsi ini
sudah dipenuhi maka model Alkin dapat digunakan. Adapun keempat asumsi
itu yaitu:
1. Variable perantara adalah satu-satunya variable yang dapat dimanipulasi.
2. System luar tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran system (persekolahan)
3. Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki control mengenai pengaruh yang diberikan system luar terhadap sekolah.
4. Factor masukan mempengaruhi aktifitas factor perantara dan pada
gilirannya factor perantara berpegaruh terhadap factor keluaran.
Adapun kelebihan dari model ini adalah keterikatannya dengan system.
Dengan model pendekatan system ini kegiatan sekolah dapat diikuti
dengan seksama mulai dari variable-variable yang ada dalam komponen
masukan, proses dan keluaran. Komponen masukan yang dimaksudkan adalah
semua informasi yang berhubungan dengan karakteristik peserta didik,
kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian, kebiasaan,
latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan sebagainya.
kelemahan dari model Alkin adalah keterbatasannya dalam focus kajian
yaitu yang hanya focus pada kegiatan persekolahan. Sehingga model ini
hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap
dilaksanakan disekolah.
d. Model Countenance Stake
Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang
dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya ini pada evaluasi
formal. Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar
yang tidak terlibat dengan evaluan. Model countenance Stake terdiri atas
dua matriks. Matrik pertama dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua
dinamakan matriks Pertimbangan.
1. Matrik Deskripsi
Kategori pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan
(intent) pengembang kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka
kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan
pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP yang dikembangkan
guru. Kategori kedua adalah observasi, yang berhubungan dengan apa yang
sesungguhnya sebagai implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori
pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan observasi mengenai
antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu satuan pendidikan atau
unit kajian yang terdiri atas beberapa satuan pendidikan.
2. Matrik Pertimbangan
Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan focus
antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah
criteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang
dijadikan evaluan. Berikutnya adalah evaluator hendaknya melakukan
pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori pertama dan
matrik deskriptif.
Adapun kelebihan dari model ini adalah adanya analisis yang rinci.
Setiap aspek dicoba dikaji kesesuainnya. Misalkan, analisis apakah
persyaratan awal yang direncanakan dengan yang terjadi sesuai apa tidak?
Hasil belajar peserta didik sesuai tidak dengan harapan.
e. Model CIPP
Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Stufflebeam.
Sehingga sesuai dengan namanya, model CIPP ini memiliki 4 jenis evaluasi
yaitu: evaluasi Context (konteks), Input (masukan), Process (proses),
dan Product (hasil). Adapun tugas evaluator dari keempat jenis evaluasi
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi Context
Tujuan utama dari evaluasi context adalah untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan evaluan. Evaluator mengidentifikasi berbagai factor guru,
peserta didik, manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan,
peran komite sekolah, masyarakat dan factor lain yang mungkin
berpengaruh terhadap kurikulum.
2. Evaluasi Input
Evaluasi ini penting karena untuk pemberian pertimbangan terhadap
keberhasilan pelaksnaan kurikulum. Evaluator menentukan tingkat
kemanfaatan berbagai factor yang dikaji dalam konteks pelaksanaan
kurikulum. Pertimbangan mengenai ini menjadi dasar bagi evaluator untuk
menentukan apakah perlu ada revisi atau pergantian kurikulum.
3. Process
Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan dari suatu inovasi
kurikulum. Evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai
keterlaksanaan implementasi kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan
proses implementasi. Evaluator harus merekam berbagai pengaruh variable
input terhadap proses.
4. Product
Adapun tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untuk menentukan sejauh
mana kurikulum yang diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi
kebutuhan kelompok yang menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai
macam informasi mengenai hasil belajar, membandingkannya dengan standard
dan mengambil keputusan mengenai status kurikulum (direvisi, diganti
atau dilanjutkan).
f. Model Ekonomi Mikro
Model ekonomi mikro adalah model yang menggunakan pendekatan
kuantitatif. Sebagaimana model kuantitatif lainnya, maka model ekonomi
mikro ini focus pada hasil (hasil dari pekerjaan, hasil belajar dan
hasil yang diperkirakan). Adapun pertanyaan besar dalam ekonomi mikro
adalah apakah hasil belajar yang diperoleh peserta didik adalah sesuai
dengan dana yang dikeluarkan? Adapun model dilingkungan ekonomi mikro
ada empat, adapun yang tepat digunakan dalam evaluasi kurikulum adalah
model cost effectiveness.
Dalam model cost effectiveness ini seseorang evaluator harus dapat
membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang
digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh
setiap program. Perbandingan hasil ini akan memberikan masukan bagi
pembuat keputusan mengenai program mana yang lebih menguntungkan dilihat
dari hubungan antara dana dan hasil. Dalam mengukur hasil di gunakan
instrument yang sudah di standarisasi. Pengunaan instrument standar
penting karena dengan demikian perbandingan antara biaya dan hasil dapat
dilakukan secara berimbang.
2. Model evaluasi kualitatif
Adapun model evaluasi kualitatif selalu menempatkan proses pelaksanaan
kurikulum sebagai focus utama evaluasi. Oleh karena itulah dimensi
kegiatan dan proses lebih mendapatkan perhatian dibandingkan dimensi
lain. Terdapat tiga model evaluasi kualitatif, yaitu sebagai berikut:
a. Model studi kasus
Adapun model studi kasus (case study) adalah model utama dalam evaluasi
kualitatif. Evaluasi model studi kasus memusatkan perhatiannya pada
kegiatan pengembangan kurikulum di satu satuan pendidikan. Unit tersebut
dapat berupa satu sekolah, satu kelas, bahkan terdapat seorang guru
atau kepala sekolah. Dan dalam menggunakan model evaluasi studi kasus,
tindakan pertama yang harus dilakukan evaluator adalah familirialisasi
dirinya terhadap kurikulum yang dikaji. Apabila evaluator belum familiar
dengan kurikulum dan satuan pendidikan yang mengembangkannya maka
evaluator ini dilarang melakukan evaluasi.
Familirialisasi ada dua jenis. Pertama, familiriaslisasi terhadap
kurikulum sebagai ide dan sebagai rencana. Familiarialisasi kedua
dilakukan ketika evaluator dilapangan. Evaluator harus menguasai
kebiasaan-kebiasaan dalam satuan pendidikan yang dievaluasi. Setelah
familiarilisasi evaluator bisa melanjutkan pada observasi lapangan
dengan baik. Observasi adalah teknik pengumpulan data yang sangat
dianjurkan dalam model studi kasus. Dengan observasi memungkinkan
evaluator menangkap suasana yang terjadi secara langsung ketika proses
yang diobservasi sedang berlangsung. Adapun ketentuan bagi evaluator
ketika menggunakan observasi adalah pertama, haruslah evaluator seorang
yang memiliki visi dan pengetahuan luas mengenai focus observasi.
Kedua, kecepatan berfikir, hal ini penting karena evaluator berfungsi
sebagai instrument yang selalu terbuka untuk refocusing ataupun membuka
dimensi baru dari masalah yang sedang diamati. Ketiga, evaluator harus
cermat dalam menangkap informasi yang diterimanya. Kecermatan ini
ditandai oleh tiga hal. Pertama, informasi tertulis sebagaimana yang
disampaiakn oleh responden, pemkanaan informasi, dan keterkaitan
informasi dengan konteks yang lebih luas.
Selain observasi, pengumpulan data dapat dilakukan dengan kuisioner dan
wawancara. Setelah data selesai dikumpulkan maka pengolahan data
langsung dilakukan, sebaiknya ketika masih dilapangan. Hal ini
memudahkan evaluator apabila ada persoalan baru masih memiliki
kesempatan untuk menelusuri secara langsung. Selain itu juga efisiensi
waktu. Dari pengolahan data ini dilakukan dengan tindakan evaluator
yaitu mengklasifikasi data dan segera membuat laporan hasil evaluasi.
b. Model Iluminatif
Model ini mendasarkan dirinya pada paradigma antropologi social. Model
ini juga memberikan perhatian tidak hanya pada kelas dimana suatu
inovasi kurikulum dilaksanakan. Adapun dua dasar konsep yang digunakan
model ini adalah:
1. System intruksi
System intruksional disini diartikan sebagai catalog, perpekstus, dan
laporan-laporan kependidikan yang secara khusus berisi berbagai macam
rencana dan pernyataan yang resmi berhubungan dengan pengaturan suatu
pengajaran. KTSP sebagai hasil pengembangan standar isi dan standar
kompetensi lulusan di suatu satuan pendidikan adalah suatu system
instruksi.
2. Lingkungan belajar
Lingkungan belajar ialah lingkungan social-psikologis dan materi dimana
guru dan peserta didik berinteraksi. Dalam langkah pelaksanaannya, model
evaluasi iluminatif memiliki tiga kegiatan. Yaitu:
a. Observasi
Observasi adalah kegiatan yang penting. Dalam observasi evaluator dapat
mengamati langsung apa yang sedang terjadi disuatu satuan pendidikan.
Evaluator dapat melakukan studi dokumen, wawancara, penyebaran
kuesioner, dan melakukan tes untuk mengumpulkan informasi yang
diperlukan. Isu pokok, kecenderungan, serta persoalan yang
teridentifikasi merupakan pedoman bagi evaluator untuk masuk kedalam
langkah berikutnya.
b. Inkuiri lanjutan
Dalam tahap inkuiri lanjutan ini evaluator tidak berpegang teguh
terhadap temuannya dalam langkah pertama. Kegiatan evaluator dalam tahap
ini adalah memantapkan isu, kecenderungan, serta persoalan-persoalan
yang ada sampai suatu titik dimana evaluator menarik kesimpulan bahwa
tidak ada lagi persoalan baru yang muncul.
c. Usahan penjelasan
Dalam langkah memberikan penjelasan ini evaluator harus dapat menemukan
prinsip-prinsip umum yang mendasari kurikulum disatuan pendidikan
tersebut. Disamping itu evaluator harus dapat menemukan pola hubungan
sebab akibat untuk menjelasakan mengapa suatu kegiatan dapat dikatakan
berhasil dan mengapa kegiatan lainnya dikatakan gagal. Penjelasan
merupakan hal penting dalam metode iluminatif.
c. Model Responsif
Model responsif sangat menekankan terutama sekali pada
kedudukan-kedudukan, pertanyaan-pertanyaan, dan masalah-masalah yang
ditemui oleh perhatian para pendengar yang berbeda oleh di bawah program
evaluasi. Menurut Scriven (1978), Guba dan Lincoln (1981), model
evaluasi responsif memungkinkan mengambil dua orientasi mayor (utama)
[yang mana saling melengkapi satu sama lain (Guba dan Lincoln, 1981)],
yaitu:
1. Pembatasan terhadap kegunaan atau manfaat yang benar-benar ada yang sedang dievaluasi.
2. Pembatasan terhadap nila-nilai yang benar-benar ada yang sedang dievaluasi.